Senin, 06 Oktober 2008

Dia pun bertemu dengan Sang Pemilik Jiwa

“Hari ini aku bertemu penulis ku loh…Ah senengnya, mereka punya satu pikiran denganku. Jadi enak aja ceritanya. Mereka juga mau nyesuaikan jadwal denganku. Pokoknya enaklah…!” cerita gadis itu antusias. Antusiasmenya tidak berkurang meski tubuhnya tergolek lemah di rumah sakit. Hari itu, pertemuan kali keduaku dengannya. Perasaan sama kurasa, gadis itu, seorang teman baru, begitu menginspirasi dengan segala keterbatasannya. Dengan semua kekurangannya menjadi kelebihan yang tak mudah ditandingi oleh orang lain.

Waktu itu, sekitar awal bulan Juli 2008, saya mengunjunginya di rumah sakit, tempat dia dirawat, RSAL Dr. Ramelan. Teman baru saya itu sedang menjalani terapi hiperbarik. Sembari di terapi, dia menyelesaikan biografinya dengan dibantu penulis yang ditunjuk oleh penerbit yang akan menerbitkan bukunya. Masih segar dalam ingatanku, pertemua pertama kami, dia bercerita telah menyelesaikan tiga bab dalam bukunya. Tinggal tiga bab lagi yang terpaksa dia tunda karena fisiknya sudah tidak mampu lagi untuk digunakan untuk menulis. Dia gampang lelah, dan matanya sudah semakin tidak bisa digunakan untuk melihat. Tapi semangatnya untuk menyesaikan tulisan tetap membara. Satu hal yang membuat saya tertohok waktu itu (saya yang secara fisik kuat, ada saja alasan untuk tidak menulis).

Dia Ajeng. Seorang teman baru, penderita Marfan Syndrome. Suatu penyakit karena kelainan genetic yang mempengaruhi system organ yang lain seperti tulang, pembuluh darah, mata, jantung, dan paru-paru. Suatu penyakit langka, yang belum ditemukan obatnya. Marfan Syndrome menyebabkan pertumbuhan tulang Ajeng lebih cepat dari anak normal. Tubuhnya menjulang tinggi, juga tulang jari-jarinya lebih panjang. Saat ini tinggi Ajeng hamper mencapai 2 meter. Dua saudara Ajeng juga mengidap Marfan Syndrome. Namun, yang mengalami kondisi paling berat hanya Ajeng.

Ajeng teman saya adalah seorang yang sangat periang. Dia adalah salah satu motivator hebat yang pernah saya kenal. Seorang penulis handal yang pernah saya temui. Seorang anak yang sangat cinta dengan sang ibunda, juga seorang hamba yang sangat mencintai penciptanya. Dia tak pernah menyesal dengan Marfan Syndrome yang dia derita. Bahkan dia tak pernah menyebutnya sebagai cobaan, melainkan anugrah. Anugrah yang harus dia syukuri. Skenario Allah yang dia yakin membawa banyak hikmah.

Selain periang, dia mudah terbuka pada siapapun. Tak segan dia bercerita tentang penyakitnya. Tentunya disertai dengan kata-kata syukur dari mulutnya. Dia adalah gadis yang suka bercanda. Pernah dia berkata, ”Untung aku sakit seperti ini, jika tidak mungkin aku sudah aborsi berkali-kali,” disertai tawa lepas dari mulutnya. Fitrah seoranng manusia juga sebagai seorang perempuan, dia memimpikan untuk menikah. Matanya yang berbinar ketika menceritakan salah satu dokter yang setia merawatnya. Banyak cerita..banyak tawa...


****


Pagi itu, tepatnya 19 September 2008, saya membeli salah satu harian di Surabaya. Maklum, kemarin lembaga tempat saya bekerja baru mengadakan acara di Lokalisasi moroseneng Benowo-Surabaya, jadi saya ingin membacanya beritanya di koran pagi ini. Setelah berita yang saya cari ditemukan, saya membolak-balik koran yang saya beli, sekadar iseng ingin mengetahui berita hari itu. Hampir tak percaya, mata saya tertumbuk pada berita berjudul ”Bukunya Terbit Hari Ini, Ajeng Keburu Tiada”. Saya benar-benar membuka mata saya, takut salah baca. Apakah Ajeng yang tertulis adalah Ajeng teman baru saya itu. Ya.. dia Ajeng, teman baru saya.

Dia telah tiada. Rabu, 18 September 2008, pukul 13.30. Tepat sehari sebelum launching buku biografinya yang bertajuk Inspirasi Matahari. Badan saya langsung lemas. Kemana saja saya. Rasa sesal demikian menghujam. Mengapa tidak tiap bulan –paling tidak— saya mengunjunginya, mendengarkan ceritanya, berbagi, berdiskusi tentang tulisannya, apapun.. . Meski saya yakin di saat terakhirnya akan ada banyak orang yang mendampinginya, akan ada banyak yang kehilangan, akan ada banyak derai air mata. Menurut sang kakak, hari itu Ajeng masih terlihat baik-baik saja. Waktu itu dia minta diantarkan untuk menjenguk sang ibu yang baru operasi pengangkatan rahim di rumah sakit yang sama. Diperjalanan dia masih asyik ngobrol lama dengan teman-temannya. Bahkan ke beberapa teman dia berkata, “Besok aku pasti sembuh!” di tengah perjalanan, mendadak Ajeng kejang. Ajeng langsung dibawa kembali dan mengalami koma selama lebih kurang satu jam sebelum menghadap sang Illahi.

Ajeng, sang Inspirasi Matahari… seorang gadis 23 tahun. Sepanjang hidupnya bersahabat dengan Marfan, sebuah anugrah yang siapapun belum tentu bisa merasakannya. Marfan adalah anugrah, pun Ajeng adalah keajaiban. Keajaiban bagi dirinya, bagi ibunya, keluarga, dan tentunya keajaiban bagi dunia. Hanya dia… Wahyu Ajeng Suminar.


Selamat tinggal sahabat, Allah memang sangat mencintaimu…




Media Center PKPU Jatim Corner

22 September 2008 pk. 16:27


Tidak ada komentar: