Selasa, 14 Oktober 2008

Hanya Perempuan Biasa

Dia hanyalah perempuan biasa. Dengan wajah yang biasa, pekerjaan yang biasa, pemahaman agama yang biasa, ibadah yang biasa, ya...semuanya biasa. Tidak ada yang istimewa dari sosok perempuan paruh baya ini. Hanya satu yang tidak biasa, perjuangannya sebagai seorang ibu, itu yang tidak biasa. Dengan menghimpun jutaan asa, dia membesarkan enam anaknya tanpa seorang suami disampingnya. Suaminya pergi meninggalkannya.
Bulan lalu saya membeli Majalah Ummi. Ada formulir tentang pemilihan Ibu Teladan, versi majalah Ummi tentunya. Saya tertarik, ingin mengusulkan sebuah nama untuk dijadikan nominasi. Sayang, setelah saya baca persyaratannya, nama itu sudah kalah sebelum bertanding. Dalam hati saya bertanya, Ibu teladan harus seperti ini, ya? Saya pun sebenarnya tidak menolak. Dia tak lagi bersuami. Bukan karena sang suami menghadap Illahi, tapi karena sang suami meninggalkannya. Persyaratan yang diajukan oleh Ummi memang benar-benar layak, bahkan umum. Seorang ibu yang merepresentasikan seorang muslimah, istri, dan tentunya ibu yang baik, sesuai dengan Quran dan Sunnah. Tapi hati kecil saya menolak. Ada ribuan ibu di luar sana yang begitu perkasa, begitu berkorban untuk anak-anaknya, tapi mereka sendiri. Tanpa laki-laki. Apakah dengan begitu mereka langsung dicap sebagai istri yang tidak baik? Istri yang tidak bisa menjaga rumah tangganya? Bagi orang yang hanya melihat hitam dan putih, halal dan haram, benar dan salah, bisa jadi dengan enteng menjawab ’Ya’.

Perempuan biasa ini mempunyai enam orang anak dengan tiga orang terkena penyakit bernama Marfan Syndrome. Sebuah penyakit yang disebabkan kelaianan gen. Akibatnya, sang buah hati pertumbuhannya terlalu cepat melebihi orang biasa. Beruntung, pada dua orang tertua, penyakit itu tidak begitu berefek besar. Hanya si putri bungsu yang parah. Saat ini sang putri hanya bisa tergolek lemah di tempat tidur, bergantung dengan obat, dan harus bolak-balik check-up ke rumah sakit. Hari-hari perempuan biasa ini dicurahkan untuk menemani sang putri, mengajaknya bercanda, setia menemani check-up, memandikan, juga memberi semangat kepada sang putri jika skenario Allah lebih indah, apapun yang terjadi. Selain itu, perempuan biasa ini juga aktif memperjuangkan hak-hak korban KDRT seperti dirinya. Sebuah perjuangan yang tidak biasa, bukan?


Surabaya, 10 Juni 2008


Special untuk Ibu Yuni

Senin, 06 Oktober 2008

Dia pun bertemu dengan Sang Pemilik Jiwa

“Hari ini aku bertemu penulis ku loh…Ah senengnya, mereka punya satu pikiran denganku. Jadi enak aja ceritanya. Mereka juga mau nyesuaikan jadwal denganku. Pokoknya enaklah…!” cerita gadis itu antusias. Antusiasmenya tidak berkurang meski tubuhnya tergolek lemah di rumah sakit. Hari itu, pertemuan kali keduaku dengannya. Perasaan sama kurasa, gadis itu, seorang teman baru, begitu menginspirasi dengan segala keterbatasannya. Dengan semua kekurangannya menjadi kelebihan yang tak mudah ditandingi oleh orang lain.

Waktu itu, sekitar awal bulan Juli 2008, saya mengunjunginya di rumah sakit, tempat dia dirawat, RSAL Dr. Ramelan. Teman baru saya itu sedang menjalani terapi hiperbarik. Sembari di terapi, dia menyelesaikan biografinya dengan dibantu penulis yang ditunjuk oleh penerbit yang akan menerbitkan bukunya. Masih segar dalam ingatanku, pertemua pertama kami, dia bercerita telah menyelesaikan tiga bab dalam bukunya. Tinggal tiga bab lagi yang terpaksa dia tunda karena fisiknya sudah tidak mampu lagi untuk digunakan untuk menulis. Dia gampang lelah, dan matanya sudah semakin tidak bisa digunakan untuk melihat. Tapi semangatnya untuk menyesaikan tulisan tetap membara. Satu hal yang membuat saya tertohok waktu itu (saya yang secara fisik kuat, ada saja alasan untuk tidak menulis).

Dia Ajeng. Seorang teman baru, penderita Marfan Syndrome. Suatu penyakit karena kelainan genetic yang mempengaruhi system organ yang lain seperti tulang, pembuluh darah, mata, jantung, dan paru-paru. Suatu penyakit langka, yang belum ditemukan obatnya. Marfan Syndrome menyebabkan pertumbuhan tulang Ajeng lebih cepat dari anak normal. Tubuhnya menjulang tinggi, juga tulang jari-jarinya lebih panjang. Saat ini tinggi Ajeng hamper mencapai 2 meter. Dua saudara Ajeng juga mengidap Marfan Syndrome. Namun, yang mengalami kondisi paling berat hanya Ajeng.

Ajeng teman saya adalah seorang yang sangat periang. Dia adalah salah satu motivator hebat yang pernah saya kenal. Seorang penulis handal yang pernah saya temui. Seorang anak yang sangat cinta dengan sang ibunda, juga seorang hamba yang sangat mencintai penciptanya. Dia tak pernah menyesal dengan Marfan Syndrome yang dia derita. Bahkan dia tak pernah menyebutnya sebagai cobaan, melainkan anugrah. Anugrah yang harus dia syukuri. Skenario Allah yang dia yakin membawa banyak hikmah.

Selain periang, dia mudah terbuka pada siapapun. Tak segan dia bercerita tentang penyakitnya. Tentunya disertai dengan kata-kata syukur dari mulutnya. Dia adalah gadis yang suka bercanda. Pernah dia berkata, ”Untung aku sakit seperti ini, jika tidak mungkin aku sudah aborsi berkali-kali,” disertai tawa lepas dari mulutnya. Fitrah seoranng manusia juga sebagai seorang perempuan, dia memimpikan untuk menikah. Matanya yang berbinar ketika menceritakan salah satu dokter yang setia merawatnya. Banyak cerita..banyak tawa...


****


Pagi itu, tepatnya 19 September 2008, saya membeli salah satu harian di Surabaya. Maklum, kemarin lembaga tempat saya bekerja baru mengadakan acara di Lokalisasi moroseneng Benowo-Surabaya, jadi saya ingin membacanya beritanya di koran pagi ini. Setelah berita yang saya cari ditemukan, saya membolak-balik koran yang saya beli, sekadar iseng ingin mengetahui berita hari itu. Hampir tak percaya, mata saya tertumbuk pada berita berjudul ”Bukunya Terbit Hari Ini, Ajeng Keburu Tiada”. Saya benar-benar membuka mata saya, takut salah baca. Apakah Ajeng yang tertulis adalah Ajeng teman baru saya itu. Ya.. dia Ajeng, teman baru saya.

Dia telah tiada. Rabu, 18 September 2008, pukul 13.30. Tepat sehari sebelum launching buku biografinya yang bertajuk Inspirasi Matahari. Badan saya langsung lemas. Kemana saja saya. Rasa sesal demikian menghujam. Mengapa tidak tiap bulan –paling tidak— saya mengunjunginya, mendengarkan ceritanya, berbagi, berdiskusi tentang tulisannya, apapun.. . Meski saya yakin di saat terakhirnya akan ada banyak orang yang mendampinginya, akan ada banyak yang kehilangan, akan ada banyak derai air mata. Menurut sang kakak, hari itu Ajeng masih terlihat baik-baik saja. Waktu itu dia minta diantarkan untuk menjenguk sang ibu yang baru operasi pengangkatan rahim di rumah sakit yang sama. Diperjalanan dia masih asyik ngobrol lama dengan teman-temannya. Bahkan ke beberapa teman dia berkata, “Besok aku pasti sembuh!” di tengah perjalanan, mendadak Ajeng kejang. Ajeng langsung dibawa kembali dan mengalami koma selama lebih kurang satu jam sebelum menghadap sang Illahi.

Ajeng, sang Inspirasi Matahari… seorang gadis 23 tahun. Sepanjang hidupnya bersahabat dengan Marfan, sebuah anugrah yang siapapun belum tentu bisa merasakannya. Marfan adalah anugrah, pun Ajeng adalah keajaiban. Keajaiban bagi dirinya, bagi ibunya, keluarga, dan tentunya keajaiban bagi dunia. Hanya dia… Wahyu Ajeng Suminar.


Selamat tinggal sahabat, Allah memang sangat mencintaimu…




Media Center PKPU Jatim Corner

22 September 2008 pk. 16:27


Sepasang Sandal untuk sang adik

“Saya beli buat adik saya, mbak. Kasihan, dia gak bisa ikut karena sakit.” tutur Riski sambil menenteng dua pasang sandal menuju kasir. Perasaan saya tak dapat dilukiskan waktu itu. Perasaan haru, bercampur takjub, campurlah… bagaimana tidak, di saat dia bisa berpikir tentang dirinya sendiri, memilih sandal atau sepatu yang sesuai dengan seleranya sendiri, dengan harga yang bisa mencapai 100 ribu rupiah –hanya untuk dirinya sendiri—dia melakukan sesuatu yang berbeda. Mungkin, jarang terlintas di benak kita. Pandangan umum sih, ketika kita berhadapan dengan sesuatu yang menyenangkan, pertama yang kita ingat adalah diri kita. Tapi berbeda dengan Riski, bocak kelas 5 SD ini begitu memikirkan adiknya. Dia memilih dua pasang sandal dengan model yang sama persis (mungkin hanya beda ukuran), untuk dia dan adiknya. Pertanyaan pada diri, Apakah saya akan brpikiran yang sama dengan Riski, ketika mendapat rezeki dadakan semacam itu? memikirkan saudara saya. Hmmm…belum tentu.


Cerita diatas hanyalah salah satu cuplikan peristiwa yang saya alami dalam event Wisata panti. Wisata Panti adalah event Ramadlan yang baru digagas PKPU pada tahun 2008 ini. Menorehkan begitu banyak kenangan bagi saya selaku konseptor dan eksekutor. Sekali lagi, perasaan yang tidak bisa saya ungkapkan, tapi sangat terasa di hati. Bahkan rasa itu masih tertinggal sampai detik saya menuliskan tulisan ini. Jika ada yang mengatakan program belanja di mall ini mengajarkan budaya konsumtif pada anak, bisa jadi ada benarnya sedikit, tapi bagaimana perasaan bahagia anak-anak itu begitu terpancar ketika memilih sepatu/sandal, mereka berlari-lari dari rak satu ke rak yang lain, ketika membayar di kasir, ketika menenteng kantung belanjanya. Perasaan mereka sampai ke hati saya, saya pun ikut bahagia. Bahagia ketika mereka tertawa bahagia, tawa mereka tulus, pandangan mata mereka polos, binar mata mereka indah. Saya pun ikut nelangsa, sedih ketika mereka harus kecewa melihat bandrol harga yang lebih dari 100 ribu, sehingga terpaksa harus meletakkan pilihan mereka lagi. Lucu ketika melihat rekan kerja saya juga ikutan sibuk dirubung oleh adik-adik panti yang bingung memilih sepatu/sandal untuk mereka. Banyak rasa, kan? Jadi sangat lumrah jika perasaan saya belum cukup dikatakan dengan kata. Cukup hati yang bisa merasakan.


Capek, penat, lelah saya akui ketika melaksanakan event ini. Sangat capek malah. Tapi sudah lunas terbayar dengan perasaan bahagia yang berhasil mereka salurkan. Cocoklah ketika saya dan tim saya mengambil tema Bahagia dengan berbagi untuk event wisata panti ini. Memang, ternyata berbagi itu sangat membahagiakan. Tunggu apalagi kawan, berbagilah maka kau akan berbahagia....



27 September 2008 Pk. 19.05

Meeting room’s PKPU Jatim


Mereka Juga Manusia

Pelacur tetaplah menyandang predikat pelacur, profesi hina, dosa, rendahan meski sebutannya sudah diperhalus menjadi Wanita Tuna Susila (WTS) alias wanita yang tudak mempunyai rasa susila (sebenarnya nama ini sama kasarnya dengan pelacur) dan kemudian diperhalus lagi dengan sebutan Pekerja Seks Komersial (PSK). Apapun namanya, stereotype rendahan, sampah, hina, akan tetap melekat.


Saya bukanlah seorang feminis. Saya pun tidak setuju dengan profesi PSK, tapi saya hanya ingin masing-masing dari kita memandang lebih proposional. Memandang bukan hanya dari satu sisi, tapi dari ragam sisi. Siapa sih yang mau dilahirkan jadi PSK? Siapa sih yang gak pingin hidup baik-baik? Mempunyai suami yang setia dan anak-anak yang lucu? Mereka salah, saya tahu. Itu bukan pekerjaan yang benar dan layak, saya pun setuju. Mereka pasti masuk neraka, hanya Allah yang tahu. T api coba kita lihat sekeliling. Banyak orang yang mencemooh, tapi banyak juga dari mereka yang memakai jasa mereka. Kehidupan ekonomi berputar cepat di daerah lokalisasi, dari penjual makanan, teh botol, toko baju, salon, dan lainnya. Mereka semua sepakat –bahkan kadang menghina mereka—tapi mereka juga mengeruk keuntungan dari profesi itu. Jangalah kita jadi munafik. Merasa sok suci dengan memakai tameng noda dari PSK-PSK itu. Tapi jangan juga menjadi terlalu naif. Karena mereka sebenarnya butuh uluran tangan kita untuk mengentas mereka. Kita harus tetap aktif untuk memperhatikan mereka. Bukan sekadar mencemooh kemudian lepas tangan.


Tidak semua dari mereka hidup layak. Meski rasanya mencari uang dengan cara seperti terlihat mudah. Banyak dari mereka yang hidup di bawah garis layak. Ada dari mereka yang baca-tulis pun tak bisa. Ada dari mereka yang mengalami kekecewaan. Jika mereka bisa teriak ingin bebas, saya yakin pasti banyak yang ingin teriak. Tapi lingkaran setan melingkupi mereka. Banyak ancaman, banyak ketakutan, banyak trauma. Sedang kita? Hanya bisa bicara dosa dan dosa. No solution!


Kita bersaudara kawan. Mereka juga manusia. Mereka butuh makan, mereka butuh perhatian, mereka butuh kasih sayang, mereka butuh ilmu seperti layaknya orang-orang yang merasa dirinya bersih. Ulurkan tangan kita untuk mereka. Dampingi mereka. Jalin silaturahim, karena kita dan mereka adalah saudara....



27 September 2008 Pk. 19.40

Meeting room’s PKPU Jatim